Gambaranlengkap dan utuh tentang manasik yang seharusnya kita teladani dari nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam ini, ditambah dengan penjelasan tentang beberapa bi'ah dalam pelaksanaan ibadah haji, menjadikan kitab ini sangat penting sebagai bekal ilmiah anda sebelum berangkat ke tanah suci. (ma'rifatullah) adalah landasan tempat Sedangkanketika sahabat Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ditanya mengenai ma'rifat yang ada pada dirinya, ia berkata, "Sangat mustahil ma'rifat datang bukan karena ma'unah Allah". Ia mengatakan bahwa ma'rifat tidak akan ditemukan pada panca indera manusia, tidak ada ukuran. Ma'rifat itu dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat. Ditanyatentang apa itu Islām, Iman, ihsān, kapan terjadinya hari kiamat dan apa tanda-tandanya. Metode tanya jawab adalah salah satu diantara metode-metode untuk memberikan pengajaran, mentransfer ilmu kepada orang lain, maksudnya supaya orang yang ditanya memberikan perhatian. Beliau mengatakan: فإذا قيل لك:من ربك؟ Vay Tiền Nhanh. Oleh Khaerunnisa TaqiyahMahasiswa STEI SEBIkhaerunnisataqiyah berasal dari bahasa arab yaitu yaitu mengetahui atau mengenal, maka dari kata ini kita sudah dapat menyimpulkan ma’rifatullah adalah mengenal Allah SWT. Mengapa kita harus mengenal Allah? Seperti dalam pepatah Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Kenapa bisa seperti itu? Karena pada dasarnya Setiap pada diri manusia ketika masih di dalam rahim mereka sudah bersaksi bahwa tiada tuhan selain dalam firmanNya yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.“ QS. Ar-Rum 30Maka dari itu kita sebagai seorang mu’min yang taat harus bisa mengenal Allah SWT. Tuhan kita, Rabb kita, sang Khaliq yang menciptakan kita, dunia dan seluruh isinya. Mengapa kita harus mengenal allah? Lagi-lagi pertanyaan ini keluar kembali, Karena dengan mengenal Allah SWT. Iman kita ter-charger, iman itu butuh di charger salah satunya dengan cara mengenal dengan mengenal Allah SWT, kita akan merasa lebih dekat kepada-Nya, dan akan berdampak pada ibadah kita nantinya. Contohnya kita menjadi lebih khusyuk dalam shalat, rajin bersedekah, dan mungkin juga yang tadinya tidak melaksanakan shalat sunnah menjadi melaksanakannya, dan lain cara ma’rifatullah? Apa saja tahap-tahap ma’rifatullah? Yaitu dengan menanam keyakinan kepada Allah SWT. Sebelum saya menjelaskan tentang menanam keyakinan kepada Allah SWT, saya ingin bertanya, apakah teman-teman sekalian tahu rukun iman? Ada berapakah rukun iman itu? Mengapa saya bertanya tentang ini??Saya akan menjawabnya dengan satu persatu, tapi tidak dengan pertanyaan pertama Karena pertanyaan itu untuk teman-teman sekalian. Saya langsung saja menjawab pertanyaan kedua, rukun iman itu ada 6, Karena rukun iman itu adalah salah satu tahap atau cara untuk mengenal Allah iman yang pertama adalah Iman Kepada Allah SWT. Iman Kepada Allah SWT, ketika kita bilang iman kepada Allah SWT, maka kita haruslah mentaati akan perintah allah dan menjauhi larangannya. Iman yang berati percaya, percaya kepada Allah SWT. Bahwa Allah SWT itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Seperti dalam firmannya “Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.“ QS. Al-Ikhlas 3Bagaimana cara mengenal Allah SWT dengan rukun islam yang pertama ini? Agar kita bisa mengenal dan mengetahui Allah SWT lebih dekat yaitu dengan caraMengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik AllahMengetahui dan mengamalkan Sifat-sifat AllahMengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik AllahAsmaul Husna yang artinya nama-nama baik Allah itu ada 99, yang berarti Allah memiliki 99 nama-nama yang baik bagi Allah. Contohnya Al-khaliq artinya yang Maha Menciptakan, Ar-razaq artinya yang Maha Pemberi Rizki, Al-Ghafuur artinya yang Maha Memberi Pengampun. Istilah Asmaul Husna Husna juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam surah Thaha ayat 8 yang artinya “Dialah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Dia mempunyai Asmaa’ul Husna nama-nama yang baik. “ QS. Thaha 8Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa sudah sangatlah jelas Allah SWT memiliki 99 nama-nama yang baik, dan dari nama-nama yang baik itu kita bisa memuji-Nya untuk menyembah kepada Allah SWT yang berhak disembah selain-Nya. Baca juga 99 Asmaa’ul dan mengamalkan sifat-sifat Allah SWTTelah kita ketahui bahwa Allah SWT itu mempunyai sifa-sifat yang wajib kita ketahui yaitu terdiri dari sifat wajib bagi Allah SWT, sifat mustahil bagi Allah SWT, dan sifat jaiz bagi Allah SWT. Masing-masing sifat ada 20 yang wajib kita ketahui kecuali sifat jaiz bagi Allah SWT yang memiliki 1 sifat, dan dalam pendapat yang lain itu ada 3. Baca juga asma dan sifat Allah iman yang kedua adalah iman kepada para malaikat Allah SWTIman Kepada para malaikat Allah SWT dengan cara kita mentaati perintah Allah SWT, seperti halnya para malaikat yang selalu berbuat kebaikan, dan menjauhi larangan-Nya seperti mereka yang tak pernah melakukan kesalahan, membantah apalagi menunda sesuatu tanpa perintah Allah SWT. Iman Kepada para malaikat Allah SWT, walaupun kita tak dapat melihat mereka tapi kita harus meyakini bahwa malaikat itu ada dan diciptakan dari cahaya dan bukan Karena itu kita mengingkari adanya mereka, Karena Allah-lah yang menciptakan mereka. Baca juga iman kepada malaikat Allah SWTRukun iman yang ketiga yaitu iman kepada Rasul-rasul Allah SWTIman Kepada Rasul-rasul Allah SWT, yaitu percaya kepada mereka para rasul-rasul Allah SWT. Mengikuti dan mena’ati apa yang di perintahkan Allah padanya, menjauhi dan menghindari segala larangan-Nya. Rasul-rasul Allah juga hanyalah manusia biasa, mereka juga memiliki hawa nafsu, akal, pikiran dan hati yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga merasakan artinya lapar dan membedakan diri mereka dan kita adalah mereka orang-orang yang terpilih, terpelihara, terjaga, tertinggi derajatnya dibandingkan dengan manusia biasa seperti kita. Maka dari itu kita harus Mengikuti dan mena’ati perintah mereka, juga menjauhi dan menghindari larangan mereka.. Baik yang tertera dalam al-qur’an maupun yang hanya terucap dalam lisan maupun terlakukan oleh perbuatan. Baca juga iman kepada Rasul-rasul Allah iman yang keempat yaitu iman kepada kitab-kitab Allah SWTIman kepada kitab-kitab Allah SWT, percaya adanya kalamullah, yang di turunkan dan di sampaikan oleh rasul-rasul Allah, maksud dalam hal ini berarti percaya adanya larangan Allah, perintah Allah, ancaman dan pahala, adanya hukum syariat yang berada dalam kitab tersebut, terutama kitab Al-Qur’an. Al-Qur’an wajib kita mengenalnya, mengenalnya dalam artian bisa membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, juga menghafalkannya jika memang mampu. Baca juga iman kepada kitab-kitab Allah iman yang kelima adalah iman kepada qadha dan qadhar Allah SWTIman kepada qadha dan qadhar, percaya kepada ketetapan Allah SWT, adalah salah satu wujud dalam ma’rifatullah percaya bahwa ketetapannya adalah salah satu pilihan yang terbaik untuk diri kita, terkadang manusia telah merencanakan tapi rencana Allah SWT. Adalah yang lebih baik, terkadang manusia menginginkan sesuatu yang menurut mereka itu baik untuk dirinya tetapi belum tentu menurut Allah itu baik untuk dirinya. Ketetapan Allah SWT ada yang bisa dirubah atau qadha yaitu seperti halnya dasarnya manusia itu dilahirkan tidak mengetahui apa-apa. Maka manusianya sendirilah yang akan membuat diri mereka menjadi pintar, cerdas, maupun bodoh. Tergantung bagaimana keinginan merekanya dan usahanya sendiri, jika mereka ingin tetapi tak ada usaha maka manusia tak akan memiliki perubahan pada dirinya, karena ulah mereka yang tak mau lagi dengan ketetapan Allah SWT. Yang tidak bisa dirubah atau qadhar seperti kematian, jodoh, dan ketika kita dilahirkan ke dunia kita tidak bisa memilih apa jenis kelamin kita, orang tua kita siapa, miskin kah… kaya kah… Semua itu tidak bisa kita ubah ketika kita terlahirkan, namun ketika kita sudah besar, sudah berilmu kita bisa saja mengubah yang tadinya hidup serba kekurangan menjadi usaha dan ikhtiar yang telah kita lalui. Jika kita tidak percaya dan tidak menerima semua ketetapan Allah SWT maka kita termasuk orang yang tidak beriman kepada Allah, kenapa? Karena itu salah satu cara mengenal Allah, beriman kepada allah adalah dengan percaya kepada ketetapan-Nya dan menerima-Nya cara untuk mengenal Allah SWT lebih dalam adalah dengan beriman kepada hari akhir. Beriman dan meyakini bahwa adanya hari akhir dan hari pembalasan adalah salah satu bukti bahwa kita hamba yang bertaqwa. Berikut adalah fase-fase hari akhir kiamatYaumul barzakh= hari penantian di alam kuburYaumul qiyamah= hari kiamatYaumul ba’ats= hari pembangkitanYaumul hasyr= hari berkumpulnya di padang mahsyarYaumul hisab= hari perhitunganYaumul mizan= hari penimbangan amalYaumul jaza’= hari pembalasanDari semua ini bahwasannya menuntun kita agar bisa lebih mengenal Allah SWT. Tuhan semesta alam, agar kita bisa memuhasabah diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik dalam segi ketauhidan, ibadah, maupun keimanan. Untuk dalil rukun iman ini ada dalam firman Allah SWT yang artinya ”Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah.“ QS. Al-Kahfi 88. [] ArticlePDF Available AbstractMa’rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim’s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn’t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma’rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma’rifatullah. Mentioned here toward Ma’rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma’rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone’s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma’rifatullah is “looking at Allah’s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Studia Insania, April 2016, Vol. 4, No. 1 ISSN 2088-6303 MENUJU MA’RIFATULLAH Menyelami Samudera Sufisme Imam al-Ghazali Asmaran As Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Diterima tanggal 3 Januari 2016 / Disetujui tanggal 15 Maret 2016 Abstract Ma‟rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim‟s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn‟t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma‟rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma‟rifatullah. Mentioned here toward Ma‟rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma‟rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone‟s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma‟rifatullah is “looking at Allah‟s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Kata kunci Sufisme, Ma‟rifah, Nur, Mukasyafah Pendahuluan Abû al-Wafâ‟ al-Ghanîmî al-Taftâzânî mengatakan bahwa orang yang pertama membicarakan soal makrifah ma‟rifah ialah Ma‟rûf al-Karkhî H/815 M. Namun yang paling menonjol karena pembahasannya secara teoretis dan rinci ialah Zû al-Nûn al-Mishrî H/861 M; dan dari dialah kaum sufi sesudahnya sering menimba ataupun menisbahkan teori tersebut. Boleh jadi, karena itulah dia dipandang sebagai bapak paham makrifah Zû al-Nûn al-Misrî, ada tiga macam makrifah, yaitu 1 makrifah orang awam, 2 makrifah para mutakallimin dan filosof, dan 3 makrifah para awliyâ‟ dan muqarrabin. Yang pertama adalah mengenal keesaan Allah dengan perantaraan ucapan syahadat, yang kedua ialah mengenal keesaan Allah dengan sarana logika dan penalaran, dan yang ketiga adalah mengenal keesaan Allah dengan hati sanubari atau makrifah dalam arti pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu „ilm, bukan makrifah ma‟rifah. Makrifah dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan; dan inilah yang disebut makrifah. Makrifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan kalbu mereka. Makrifah seperti ini hanya diberikan Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‟ah wa al-Nasyr, 1979, 100. Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 100. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam Jakarta Bulan Bintang, 1973, 76. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76. Studia Insania Vol. 4, No. 1 Tuhan kepada kaum sufi. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam kalbu seorang sufi, sehingga kalbunya penuh dengan cahaya. Ketika Zû al-Nûn ditanya bagaimana dia memperoleh makrifah tentang Tuhan, dia mengatakan "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan kenal Tuhanku." Hal ini berarti bahwa makrifah bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Jadi makrifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup hubungan ini „Alî „Abd al-Azîm mengatakan "Kaum sufi sepakat bahwa makrifah yang hakiki hanya didapat melalui hati sanubari yang menerima ilhâm al-bashîrah al-mulhamah, bukan melalui akal ataupun indera." Perlu pula dicatat, Reynold A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam dengan tegas mengatakan, bahwa Walau secara umum pengetahuan disebut dengan „ilm, tetapi pengetahuan menurut orang sufi, secara khusus disebut dengan ma„rifah atau irfân. Seperti yang pemah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa secara mendasar ma'rifah berbeda dengan „ilm, sehingga diperlukan kata lain untuk menerjemahkannya. Dan mungkin kita tidak akan sempat mencari padanannya yang sesuai. Ma‟rifah dalam pengertian sufisme adalah 'gnosis' dari teosofi Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu atau penyingkapan kasyf. la bukan hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang diberikanNya sebagai rahmatNya kepada mereka yang memang sudah Dia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Inilah seberkas sinar Ilahi yang menyelinap ke dalam kalbu dan menyinari seluruh bagian tubuh dengan sorotan sinamya yang al-Ghazâlî H./1111 M. dengan para sufi sebelumnya, kata al-Taftâdzânî, adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah ma‟rifatullah, yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sebagaimana halnya para sufi sebelumnya, al-Ghazâlî pun memandang makrifah sebagai tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang sekaligus merupakan kesempumaan tertinggi dimana di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode menuju ma‟rifatullah menurut Imam al-Ghazali ini, berikut perlu diuraikan tentang pengertian makrifah, tingkat-tingkat makrifah dan makrifah sebagai ilmu makâsyafah. Pengertian Makrifah Kata makrifah ma‟rifah berasal dari kata kerja „a-r-f فرع yang berarti mengenal atau mengetahui. Di dalam kitabnya Raudhah al-Thalibîn, al-Ghazâlî mengatakan bahwa makrifah, jika diiihat dari segi bahasanya berarti "ilmu yang tidak menerima keraguan." Atau dalam ungkapan arabnya dikatakan ﻌﻤﻟﺍDalam ungkapan lain, pengertian makrifah yang disebut dengan "ilmu yang tidak menerima keraguan" di dalam kitabnya Al-Munqidz min al-Dhalâl disebutnya dengan "ilmu yang meyakinkan" al-„ilm al-yaqînî. Apa Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76-77. „Ali „Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah fî al-Qur‟ân al-Karîm, Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misriyah, 1973, 287. Nicholson, The Mystics of Islam London Routledge and Kegan Paul, 1975, 71. Al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 71. Ibrâhîm Basyûnî, Nasy‟ah al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 265. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Raudhah al-Thâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924, 162. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang disebut dengan "ilmu yang meyakinkan" itu, al-Ghazâlî mengatakan "sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu." Dalam ungkapan arabnya dikatakan Sebagai contoh, selanjutnya dia mengatakan Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dirubah menjadi ular; dan itu memang terjadi serta kusaksikan sendiri, maka hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini samasekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku. Selanjutnya aku tahu bahwa apa pun yang kuketahui, bila tidak seperti itu dan apa pun yang aku yakini bila tidak seyakin itu, maka yang demikian bukanlah "ilmu" yang dapat dipercaya dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak memberi aman tersebut, bukanlah ilmu yang menurut Dr. Sulaimân Dunyâ, "kebenaran" haqîqah yang dicari al-Ghazâlî untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dalam mengomentari pemyataan yang diberikan al-Ghazâlî tentang "ilmu yang meyakinkan" seperti disebutkan di atas, Abû Bakr „Abd al-Râziq mengatakan Demikianlah ilmu yang meyakinkan menurut batasan yang diberikan dan dimaksud oleh al-Ghazâlî. Inilah ilmu yang dapat memuaskan dan melegakan batinnya, sebab, ia bukanlah ilmu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tua, atau taklid kepada seseorang. Sesungguhnya ilmu yang telah mencapai tingkat yakin, sebagaimana contoh yang dia kemukakan, tak dapat digoyahkan oleh siapa pun. Sekiranya di hadapannya ada seseorang yang mampu merubah tongkat menjadi seekor ular, maka hal itu tidaklah berdampak terhadap dirinya, kecuali dia hanya kagum terhadap kemampuan orang tersebut dan dia tidak akan ragu terhadap apa yang dia telah segi istilahnya, makrifah menurut al-Ghazâlî ialah "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud." Atau, dengan ungkapan aslinya dikatakan Dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa pengertian makrifah dalam paham al-Ghazâlî tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala ketetapan-ketetapan-Nya untuk semua makhluk, meskipun pada kenyataannya dia lebih banyak membahas pengenalan tentang Tuhan yang memang tujuan utama setiap sufi. Oleh karena itu, dia juga mengatakan bahwa makrifah ialah "memandang kepada wajah Allah Ta'ala." رظنﻟﺍ ىﻟإ هجو  ىﻟاﻌت Perlu diketahui bahwa memperoleh makrifah itu merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seorang sufi memperoleh makrifah dari Tuhan makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-Abû Hamîd al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl Turkey Hakikat Kitabavi, 1981, 4. Abû Hamîd al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dhalâl, 4-5. Sulaimân Dunyâ, “Al-Ghazâlî Yabhats „an al-Ma‟rifah,” dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-„Amal Mesir Dâr al-Ma‟ârif, 1964, 14. Abû Bakr „Abd al-Râziq, Ma‟a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV, 299. Studia Insania Vol. 4, No. 1 rahasia Tuhan, dan dia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh makrifah yang sempuma tentang Tuhan tidaklah mungkin karena manusia bersifat terbatas finite, sedang Tuhan bersifat tidak terbatas infinite, sebagaimana diterangkan al-Ghazâlî dalam karyanya Fî Bayâni Ma'rifatillâhsebagai berikut Bagaimana seorang manusia ingin mengenal Allah Ta‟ala dalam arti yang sesungguhnya, sedang terhadap dirinya sendiri dia tidak mampu mengenalnya dengan sempuma? Dalam banyak hal orang hanya dapat mengenal aktivitas-aktivitas dan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengenal substansinya yang sebenamya. Bahkan manusia tidak mampu mengenal hakikat dan sifat-sifat semut atau binatang apa saja dengan pengenalan yang menyeluruh dan sempuma. Paling-paling dia hanya mampu mengenal segi-segi lahiriahnya saja, baik bentuk, wama, susunan anggota maupun perbedaannya dengan yang lain. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat semut yang membedakannya dengan binatang lainnya, baik susunan anggota maupun sifat-sifatnya, tak ada yang mampu dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Imam al-Ghazâlî mengatakan Dapat kami katakan masih amat jauh, bahwa orang-orang „arif al-„ârifîn itu ialah mereka mengenal Allah SWT. dengan sempuma tanpa terlindung sedikit pun. Sesungguhnya kami telah menjelaskan dengan bukti-bukti yang qath‟î dalam kitab Al-Maqshad al-Aqshâ fî Asmâ'i al-Lâh al-Husnâ bahwa seseorang' tidak akan dapat mengenal hakikat Allah kecuali Allah sendiri. Bagaimanapun luasnya pengetahuan makhluk manusia dan banyaknya ilmu yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, maka sesungguhnya mereka itu tidaklah diberi ilmu kecuali sedikit. Namun yang penting hendaklah diketahui bahwa keberadaan Tuhan al hadrah al-ilahiyah meliputi segala sesuatu yang ada dalam wujud ini. Karena itu, hanya Allah dan perbuatan-perbuatanNya yang sebenamya ada dalam wujud ini, semuanya adalah bukti kebenaran itu, kata al-Ghazâlî, suatu hal yang tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal hakikat zat Allah SWT. Maka bagi seorang arif yang berkata bahwa dia tidak mampu mengenal-Nya berarti bahwa dia telah kenal padaNya. Inilah batas kesanggupan yang dimiliki manusia untuk mengenal Allah SWT."Karena itulah, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadis, kita hanya diperintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan kejadian makhluk, ciptaan Allah; sama sekali tidak ada perintah untuk memikirkan zat penciptanya, Allah SWT. Sesungguhnya, tersingkapnya rahasia-rahasia ketuhanan dan ketetapan-ketetapan tuhan terhadap segala sesuatu merupakan kenikmatan, kebahagiaan dan keistimewaan yang paling utama. Kemuliaan suatu makrifah, katanya, sangat terkait dengan obyeknya. Allah adalah zat yang Maha Agung dan Maha Mulia; dan karena itu mengenalNya merupakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada taranya. Dalam hal ini al-Ghazâlî menulis Dengan demikian jelas bahwa ilmu itu adalah suatu kelezatan; sedang ilmu yang paling lezat adalah ilmu tentang Allah Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya dalam kerajaanNya dari ujung Sebuah risalah yang tersimpan di universitas Leiden, Belanda. Risalah ini dipublikasikan oleh Dr. Mahmûd Hamdî Zaqruq dalam majalah Minbar al-Islâm, Kemudian diterbitkan oleh Maktabah al-Jundî, Mesir yang dijilid menjadi satu dengan karyanya al-Iqtishâd fî al-I‟tiqâd. Risalah yang terdiri dari beberapa halaman ini ditempatkan pada bagian akhir setelah al-Iqtishad. Penerbitnya oleh Maktabah al-Jundî ini diberi pengantar oleh Mumahhad Mustafâ Abû al-„Ala. Lihat Muhammad Mustafa Abû al-„Alâ, “Tashdîr al-Risâlah” dalam Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah Maktabah al-Jundî, Mesir, 220. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah, 225. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Turkey Hakikat Kitabevi, 1981, 32. Al-Ghazâlî, Fî Bayân, 223-224. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah arasyNya sampai ke batas akhir dunia. Karena itu haruslah dicamkan bahwa kelezatan makrifah lebih utama dari kelezatan seluruh apa pun .Dengan demikian, tujuan akhir dari perjalanan orang-orang ârif ialah bertemu al-liqâ' dengan Tuhan. Dengan pertemuannya itu, semua kesusahan dan keinginan duniawi hilang/lenyap dari perasaan batinnya. Dia tenggelam dalam lautan kenikmatan karena berjumpa dengan Tuhan. Jika dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan merasa kesakitan dan jika ditawarkan kepadanya kenikmatan surga, dia tidak akan berpaling kepadanya karena dia telah sampai pada tingkat kenikmatan yang paling sempuma. Tingkat-tingkat Makrifah Dalam proses pencarian makrifah atau ilmu yang meyakinkan tersebut, pertama-tama muncul ilmu inderawi ke depan karena ia dapat diperoleh dengan mudah dan merupakan tanggapan langsung. Tetapi ilmu yang merupakan hasil pengamatan langsung dan tampak mudah ini temyata menunjukkan kepalsuan jika ditilik lebih dekat dan dikejar lebih jauh. Dalam Mi‟yâr al-„Ilm dicontohkan dengan memperhatikan indera yang paling utama, kuat dan dominan, yaitu mata. Ketika melihat bayangan benda, mata menganggapnya diam, padahal bayangan itu bergerak perlahan yang tidak dapat ditangkap oleh mata. Dari jarak jauh, suatu benda tampak kecil pada mata, padahal benda itu besar bila ditilik dari dekat. Mata melihat seorang anak kecil, tampak tidak tumbuh besar, padahal setiap detik dia terus tumbuh dan berkembang. Mata melihat matahari kecil, padahal ia lebih besar dari planet bumi. Tidakkah mata melihat bintang-bintang di langit hanya sebesar uang-uang logam, padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa ia lebih besar dari yang kita dalam bukunya al-Munqiz yang ditulisnya kemudian, dia menambahkan bahwa tipuan dan kepalsuan yang diberikan indera itu menyebabkannya ragu pada seluruh pengetahuannya. Oleh karena itu semua ilmu inderawi tidak dapat diyakini dan bukanlah ilmu yang percayaan al-Ghazâlî terhadap laporan inderawi mendorongnya terus melangkah, memburu makrifah melalui ilmu-ilmu akli. Dalam salah satu karyanya al-Ghazâlî membandingkan akal itu dengan mata, dimana ditegaskan bahwa akal mengungguli mata dalam hal kesanggupannya memperoleh ilmu yang meyakinkan. Di situ disebutkan tujuh kelemahan mata yang sekaligus menunjukkan kelebihan akal dari mata tersebut dalam mengenal hakikat. Di sini timbul persoalan, kalau demikian halnya mengapa orang-orang berakal berbuat salah dalam pandangan dan pemikirannya. Menurut al-Ghazâlî, kesalahan bukanlah terletak pada akal itu, tetapi karena khayalan dan angan-angan dicampuradukkan dengan akal, sedang akal yang bersih tidak mungkin berbuat salah dan keliru melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Namun terhindamya samasekali dari hal-hal seperti ini sungguh sulit. Bahkan, terhindamya ia, secara sempuma, dari dorongan-dorongan seperti ini hanya dapat dialaminya kelak, setelah mati. Jadi al-Ghazâlî mengakui adanya kesulitan-kesulitan besar yang menghalangi penjemihan dan abstraksi akal ini, sehingga dapat dikatakan mustahil Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, 300. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Mi‟yâr al-„Ilm Mesir al-Matb‟ah al-„Arabiyah, 1927, 55. Al-Ghazâlî, al-Munqiz, 5-6. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964, 43-47. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, 25. Studia Insania Vol. 4, No. 1 berlaku penjemihan didunia ini. Dengan demikian, tidak ada pula harapan untuk menjadikan akal sebagai alat untuk mencapai makrifah atau ilmu yang meyakinkan sebagaimana yang terjadi pada pancaindera. Keadaan ini membuat al-Ghazâlî tidak percaya terhadap seluruh pengetahuannya, baik ilmu-ilmu inderawi maupun ilmu-ilmu akli, kecuali ilmu-ilmu akli yang bersifat aksiomatik al-awwaliyât seperti pengetahuan bahwa sepuluh itu lebih dari tiga, dan pemyataan penolakan dan penerimaan tidak dapat berkumpul dalam satu al-Ghazâlî — sebagaimana sufi-sufi lainnya memandang bahwa indera dan akal tak mampu memberikan pengetahuan yang hakiki. Indera tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena ia sering memberikan keterangan yang keliru. Demikian pula akal, karena hasil yang ditarik dari penalaran rasional tidak terlepas dari data yang diberikan indera. Tetapi selain dari dua macam yang disebutkan di atas, ada satu ilmu yang tidak mempergunakan indera dan akal yang disebut dengan ilmu ilhami atau disebut pula ilmu laduni; namun lebih populer disebut dengan ilham. Ilham, menurut al-Ghazâlî, ialah ilmu yang didapat manusia tanpa proses pengamatan dan penalaran atau dengan jalan belajar, ia langsung datang ke dalam kalbu, sebagai anugerah Tuhan. Ilmu ini khusus untuk para wali al-auliyâ' dan orang-orang pilihan yang bersih jiwanya al-ashfiyâ‟.Setelah berkesimpulan bahwa ilmu yang didapat melalui indera belum dapat meyakinkan dirinya, al-Ghazâlî terus menyelidiki ilmu yang didapat melalui akal; namun di sini dia juga merasa belum yakin terhadap keabsahan ilmu yang didapat lewat akal itu. Kali ini baik ilmu inderawi maupun ilmu akli sangat tergantung pada kesadaran dan keadaan seseorang ketika ia mengidentifikasikan apa yang sedang dia amati dan pikirkan. Sebagai contoh, ambillah soal mimpi. Tidakkah kita dapat menyaksikan dalam mimpi hal-hal seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah kita terbangun nyatalah semua itu khayal belaka. Barangkali segala yang kita percayai diwaktu jaga sadar, baik dengan indera maupun akal, itu hanya berhubungan dengan keadaan kita ketika itu sadar, sehingga andaikata kita sampai kepada suatu keadaan yang lebih sadar lagi, barangkali di situ kita insaf bahwa keadaan kita ketika itu seakan-akan mimpi ilmu inderawi dan ilmu akli sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang, maka mungkin kata al-Ghazâlî keadaan dan kesadaran yang lebih tinggi telah dicapai oleh kaum sufi, yang dalam keadaan tertentu mereka dapat menyaksikan hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh indera dan akal. Jadi menurut al-Ghazâlî, ilmu yang meyakinkan telah dicapai oleh kaum sufi. Mereka telah sampai pada suatu keadaan yang lebih tinggi dari yang dicapai oleh para ilmuan dan filosof. Kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh mereka. Hal ini dicapai melalui nûr yang diberikan Tuhan kepada orang yang dikehendakiNya. Nûr ini, katanya, adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu makrifah. Jelas bahwa makrifah yang tertinggi dalam paham tasawuf al-Ghazâlî didapat melalui ilham, yaitu Tuhan memasukkan nûr ke dalam kalbu seseorang untuk mengenai rahasia-rahasia ketuhanan dan hakikat segala sesuatu. Jadi, menurut al-Ghazail, seseorang tidak akan dapat mencapai makrifah dengan indera dan akal, akan tetapi melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbunya. Al-Ghazâlî, al-Munqdiz, 5-6. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 17. Al-Ghazâlî, al-Munqidz., 6. Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Barangsiapa mengira bahwa adanya kasyf tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang amat luas. Rasulullah saw ketika ditanya tentang makna al-syarh lapang dada dalam firman Allah "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam." mengatakan "Yaitu nûr yang dilimpahkan Allah ke dalam mengemukakan pendapat al-Ghazâlî ini, „Alî „Abd al-„Azîm merumuskan, bagaimana indera dan akal dapat menyesatkan para pencari makrifah. Sedang jalan satu-satunya untuk sampai ke sana adalah melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam hati-nurani, sebagaimana katanya Sesungguhnya Hujjatu al-Islam al-Ghazâlî telah menjelaskan dalam kitabnya yang amat berharga al-Munqidz min al-Dhalâl bagaimana indera dan akal menyesatkan para pencari makrifah, Dan satu-satunya jalan untuk mencapai makrifah tersebut ialah dengan kalbu yang mendapat ilham, yang disinari nûr disebutkan di atas, zauq orang sufi yang lahir dari kejemihan batin melalui pelaksanaan hidup zuhud zuhd, asceticism dan peribadatan itu merupakan tingkat permulaan dari kenabian para nabi. Tetapi dia tidak mengatakan bahwa seorang sufi dapat mencapai tingkat yang sama dengan para nabi. Makrifah yang dicapai para sufi itu sejenis dengan apa yang dicapai para nabi, walaupun tingkatnya lebih rendah. Dengan kata lain, para sufi dapat menjelajah ke daerah yang tidak mungkin dimasuki para filosof, walaupun tidak sedalam yang mungkin dicapai para nabi. Namun, bagaimanapun, para sufi tidak mungkin menganggap diri mereka telah mencapai daerah bebas hukum syariat, karena yang disebut terakhir ini adalah kebenaran yang bersumber dari kenabian yang jauh lebih tinggi kebenarannya dari apa yang dapat dicapai oleh sang sufi. Al-Ghazâlî juga telah menempatkan indera, akal dan ilham sesuai dengan sifat dan wewenang masing-masing sebagai sarana untuk mencapai makrifah. Namun, berdasarkan penelitian dan pengalamannya, dia menyimpulkan bahwa yang terakhir inilah sarana yang aman dan dapat menyampaikan ke tujuan, yakni sesuatu yang dicarinya sejak selagi muda hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini Ahmad al-Syarbâsî mengatakan Akhimya dia temukan apa yang dicarinya dan ketenangan jiwanya di dalam tasawuf. Pada saat itu dia tahu bahwa indera adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan empirik al-ma‟rifah al-mâddiyah, akal untuk memperoleh pengetahuan rasional al-ma‟rifah al-„aqliyah dan ilham untuk memperoleh pengetahuan sufistik al-ma‟rifah al-shûfiyah. Sesungguhnya yang terakhir ini adalah cara yang dapat menyampaikan ke tujuan dan sarana yang dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, sebuah kitab teologis, al-Ghazâlî menasehati kaum awam tentang hal-hal yang wajib diusahakan dan dihindari. Dia pun memberikan batas makrifah yang dapat dijangkau oleh akal pikiran orang awam. Nasehat pertama, hendaknya kaum awam membersihkan antropomorfisme dari pemikiran tentang Tuhan. Jika terdengar ayat-ayat tentang Allah mempunyai tangan, jari-jari dan lain sebagainya, janganlah muncul adanya gambaran bahwa Dia mempunyai daging, darah dan tulang. Allah itu bersih dari segala sifat dan bayangan antropomorfik. Nasehat kedua, hendaknya mereka membenarkan segala ajaran yang datang dari rasul, sahabat dan tâbi‟în, serta menerimanya tanpa penelitian dan tanya. Sebab Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah, 287-289. Ahmad al-Syarbâsî, al-Ghazâlî wa al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Hilâl, 172. Studia Insania Vol. 4, No. 1 penelitian tentang rahasia akidah bukan merupakan urusan orang awam, dan bukan keahliannya. Pertanyaan terhadap rahasia akidah tersebut berbahaya, bahkan dapat membawa kepada kekufuran. Yang mesti dicamkan oleh kaum awam, katanya, ialah bahwa rahasia tadi tidak tersembunyi bagi orang arif, yaitu mereka yang telah menapaki jalan orang arif dan telah mencapai siapakah yang dimaksud dengan awam menurut al-Ghazâlî? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama dapat dilihat pada pembagian tingkat keimanan atau tajalli tersingkapnya Tuhan bagi seseorang sebagaimana tertuang dalam kitabnya, Ihyâ‟, sebagai berikut 1. Iman orang awam, yaitu orang kebanyakan yang tidak banyak berilmu. Inilah iman taklid semata-mata. 2. Iman ahli kalam mutakallimîn, yaitu orang-orang yang imannya berdasarkan pemikiran dan penalaran. Tingkat iman semacam ini tidak berjauhan dengan tingkat orang awam tadi. 3. Iman orang „ârif yaitu mereka yang mencapai tingkat keimanan dengan nûr al-yaqîn cahaya kepastian.Untuk menjelaskan tingkat-tingkat keimanan di atas, al-Ghazâlî mengemukakan ilustrasi, yaitu Jika anda ingin mengetahui adanya si Zaid dalam rumah, maka hal ini memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama, kalau anda diberi tahu oleh orang yang sudah anda uji kejujurannya anda belum pemah mengenal dia berdusta dan anda tidak menaruh prasangka terhadap ucapannya, maka sungguh hati anda akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengamya saja. Inilah iman yang berdasarkan ikut-ikutan taklid semata, yaitu perumpamaan iman orang-orang awam. Mereka mendengar dari ibu-bapaknya tentang wujud Allah dan sifat-sifatNya, mendengar diutusnya para rasul dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Dari apa yang didengamya itu, mereka menerimanya dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun karena sangka baik terhadap orang-tua dan guru-guru mereka. Iman semacam ini dapat menuju ke akhirat. Akan tetapi ini merupakan tingkat permulaan, belum tergolong muqarrabîn karena tidak adanya kasyf dan bashîrah serta tidak adanya kelapangan dada buat nûr al-yaqîn. Mengapa demikian? Karena adanya kemungkinan salah tentang apa-apa yang didengamya itu. Hati orang Yahudi dan Nasrani juga merasa tenang dan puas dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu-bapak mereka. Tetapi mereka mendengar dan mengikuti ajaran yang salah. Tingkat kedua, jika anda mendengar perkataan Zaid dan mendengar suaranya di balik dinding, lantas anda mengatakan bahwa Zaid ada di dalam dengan berdalih telah mendengar suaranya. Dalam hal ini, iman dan keyakinan anda tentang adanya Zaid dalam rumah lebih kuat dari kepercayaan pada tingkat pertama. Iman pada tingkat kedua ini adalah keyakinan yang telah disertai dengan dalil. Namun kesalahan pun masih mungkin terjadi, karena suara si A kadang-kadang serupa dengan suara si B. Sungguhpun demikian, hal itu tidak terlintas di hatinya, karena dia tidak menaruh prasangka samasekali, lagi pula dia sedikit pun tidak merasa terkicuh dan terserupakan dengan suara yang lain. Tingkat ketiga, apabila anda masuk ke dalam rumah, lantas anda melihat dan menyaksikan si Zaid dengan mata kepala sendiri. Tingkat ketiga ini adalah makrifah yang hakiki dan pembuktian yang menguatkan keyakinan. Inilah makrifah para muqarrabin dan siddiqin. Kendatipun demikian, tingkat iman mereka Al-Ghazâlî, Iljâm, 8-9. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 15. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengenalan dan kasyf masing-masing. Seseorang yang melihat Zaid dari dekat dan di siang hari tentulah lebih sempuma dari seseorang yang melihatnya dari jauh dan di waktu senja. Berdasarkan klasifikasi di atas, dalam kitabnya Mizân al-„Amal, al-Ghazâlî membagi pemikiran manusia atas tiga tingkatan 1. Pendapat yang diikuti secara fanatik, karena pendapat itu berkembang di daerah orang itu hidup, atau merupakan pendapat keluarga atau gurunya. 2. Pendapat orang-orang yang mencari kebenaran mustarsyidîn atau yang mengikuti jalan pikiran mereka. Pendapat ini berbeda-beda, tergantung pada kemampuan masing-masing pencari kebenaran itu sendiri. Kalau ia bukan orang genius, pasti akan tergelincir. 3. Pendapat yang hanya diketahui orang yang dekat dengan Tuhan. Orang lain tidak memahami dan mengerti; karena itu, pemikiran yang demikian tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang. Ia hanya dapat diutarakan kepada rekan seprofesi atau orang yang sudah setingkat pikiran di atas, boleh jadi, menyebabkan al-Ghazâlî menyusun buku dengan tingkat dan bobot berbeda-beda. Ada yang untuk orang awam lower class; dan ada yang hanya untuk kalangan tertentu elite class. Buku tipe terakhir ini tidak disebar buat orang awam. Dalam hal ini, para ahli masih berbeda pendapat dalam menunjuk buku al-Ghazâlî yang ditujukan untuk kalangan elit. Namun mereka sepakat bahwa dia mengarang buku-buku jenis itu, dan berisi pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalaman khusus yang tidak mungkin diutarakan kepada orang awam, karena lantaran dikhawatirkan akan menyesatkan mereka. Barangkali buku-buku semisal Iljâm „Awâm „an „Ilm al-Kalâm, Misykât al-Anwâr, dan Al-Madhmûn Bihi Alâ Ghairi Ahlihî ditulisnya untuk kalangan elit tersebut. Oleh karena itu, dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, al-Ghazâlî hanya membagi tingkatan manusia dalam hubungannya dengan pencapaian makrifah ke dalam dua tipe, yaitu kelompok awam dan kelompok elit. Siapakah yang dimaksud dengan awam dalam kitabnya ini? Al-Ghazâlî membatasi awam sebagaimana yang telah kita bicarakan, yaitu sastrawan, ahli nahwu ahli tatabahasa, muhaddits ahli hadis, mufassir ahli tafsir, faqîh ahli fiqh dan ahli kalâm teolog, bahkan semua orang berilmu kaum intelektual, selain kaum mutajarridîn mereka yang melepaskan diri dari ikatan dunia untuk belajar berenang mengarungi lautan makrifah. Jika yang termasuk kriteria awam itu adalah semua orang yang berilmu yang tidak melepaskan diri dari ikatan dunia dengan segala pesonanya untuk mengarungi lautan makrifah,maka kita bisa memasukkan para ahli pikir ke dalam kriteria awam, yaitu mereka yang menjadikan akal sehagai sarana untuk mencapai makrifah. Al-Ghazâlî memisalkan perbedaan ilmu yang didapat dengan jalan ilham dengan ilmu sebagai hasil studi sebagai berikut Andaikata ada sebuah kolam yang digali di bumi, mungkin saja dialirkan air kepadanya dari sebelah atas melalui saluran-saluran air ke dalam kolam itu, dan mungkin pula lewat sebelah bawah dengan menggali terus dimana tanah-tanahnya diangkat dari dalam kolam tersebut sehingga sampai kepada tempat air yang bersih, lantas terpancarlah air dari sebelah bawah kolam tersebut; dan air yang Al-Ghazâlî, Mîzân, 156-8. Al-Ghazâlî, Iljâm‟, 15. Studia Insania Vol. 4, No. 1 demikian itu lebih bersih dan lebih kekal tidak mudah kering, kadang-kadang lebih banyak dan berlimpah ruah. Demikianlah, kalbu bagaikan kolam dan ilmu bagaikan air, sedangkan pancaindera seperti saluran-saluran air. Besar kemungkinan ilmu-ilmu itu disalurkan ke kalbu lewat saluran-saluran indera dan mengambil pelajaran dari barang-barang yang nyata sehingga kalbu penuh berisi ilmu. Mungkin pula saluran-saluran indera itu dibendung dengan khalwat, mengasingkan diri „uzlah dan menutup penglihatan serta secara sadar menggali kedalaman kalbu dengan membersihkannya, menghilangkan lapisan-lapisan tirai daripadanya, sehingga terpancarlah sumber-sumber ilmu dari dalam kalbu al-Ghazâlî ini dapat mengundang pertanyaan. Misalnya, bagaimana ilmu itu dapat memancar dari kalbu, sedang ia bukan sumber ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia berkata "Ketahuilah, hal itu tergolong sebagian dari rahasia keajaiban kalbu. Ia tidak dapat diukur dengan ilmu mu‟âmalah. Tentang apa yang disebut dengan ilmu mu‟âmalah ini akan diuraikan kemudian. Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan demikian al-Ghazâlî tidak menghargai ilmu, anti intelektualisme dan tidak percaya terhadap akal, yang menyebabkan terjadinya stagnasi daya kreatifitas dan inovasi kaum muslimin dimana pengaruhnya sangat dominan. Pertanyaan ini, temyata, tidak hanya muncul dari pengklasifikasian makrifah seperti terurai dimuka, tetapi juga dilatarbelakangi sikapnya yang tidak mempercayai hukum sebab-akibat atau kausalitas dan serangannya yang gencar terhadap filsafat. Untuk mengetahui sikap al-Ghazâlî terhadap ilmu pengetahuan science, mari kita lihat keterangannya dalam kitab Ihyâ' pada bab yang membicarakan tentang ilmu. Di bawah judul "Bayân al-„Ilm al-ladzî Huwa Fardhu Kifâyah" al-Ghazâlî membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu syar‟iyah ilmu agama dan ghair syar'iyah bukan ilmu agama. Ilmu syar'iyah ialah ilmu yang berasal dari para nabi as., bukan karena produk pemikiran seperti Ilmu Hitung al-hisab, bukan hasil eksperimen seperti Ilmu Kedokteran al-thibb dan bukan pula hasil pendengaran seperti bahasa al-lughah. Sedangkan ilmu-ilmu ghair syar‟iyah terbagi kepada tiga macam, yaitu terpuji mahmûd, tercela mazmûm dan boleh mubâh. Ilmu yang terpuji ialah ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran dan Ilmu Hitung. Selanjutnya ilmu ini terbagi lagi menjadi fardhu kifâyah dan keutamaan yang tidak difardukan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifâyah ialah setiap ilmu yang sangat dibutuhkan untuk menegakkan urusan-urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran karena ia merupakan bagian integral dari kelangsungan hidup manusia; dan Ilmu Hitung karena ia sangat dibutuhkan dalam pergaulan al-mu‟amalat, pembagian wasiat, waris dan lain apa yang terurai dalam kitab Ihyâ' tersebut, jelas bahwa al-Ghazâlî begitu apresiatif terhadap ilmu pengetahuan, yaitu dengan menempatkan ilmu-ilmu yang berguna bagi dunia dan kemanusiaan pada status terpuji serta mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Oleh sebab itu mungkin perlu ditinjau kembali pendapat yang mengatakan bahwa kemerosotan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam antara lain disebabkan sikap dan pendapat al-Ghazâlî tentang pengklasifikasian tingkat kemampuan di atas. Memang, sebagai pengikut dan sekaligus salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah dalam bidang kalâm, al-Ghazâlî tidak percaya adanya kepastian hukum sebab-akibat atau hukum alam. Hal ini merupakan Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 17. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah konsekuensi dari pendapatnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Berbeda dengan orang-orang Mu‟tazilah, al-Ghazâlî berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendakNya, tanpa terikat pada sesuatu apa pun, termasuk pada hukum alam. Pendapat al-Ghazâlî inilah yang sering dikritik dan dipandang, seperti tersebut di atas, sebagai penyebab terjadinya kemerosotan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran Islam, sebab, kemajuan ilmu pengetahuan itu merupakan produk pengamatan dan penalaran terhadap hukum alam tersebut. Adanya hubungan sebab-akibat seperti yang terlihat dalam keseharian, demikian selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan, haruslah dikembalikan kepada takdir Allah. Apabila yang satu mengikuti yang lain, maka hal itu memang telah diciptakan demikian, bukan karena hubungan itu suatu keharusan yang tercipta dalam dirinya dan tidak bisa diubah lagi. Allah berkuasa untuk menciptakan kenyang tanpa makan, mati tanpa putusnya leher dan menghilangkan kehidupan dengan putusnya leher; dan demikian seterusnya hingga keseluruhan hubungan yang saling berarti bahwa al-Ghazâlî tetap konsisten pada paham teologisnya seperti disebutkan di atas. Kemudian tentang serangannya terhadap filsafat yang juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya kemandekan daya kreatifitas filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi berkembang sebagaimana halnya di zaman keemasan dahulu di dunia Islam, barangkali masih perlu ditinjau kembali. al-Ghazâlî mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan para filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya temyata argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhimya dia mengambil sikap menentang terhadap dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, yang kemudian ditegaskan kembali di dalam al-Munqiz, al-Ghazâlî menyerang duapuluh masalah dari proposisi para filosof, tidak saja filosof Yunani, tetapi juga filosof muslim seperti al-Fârâbî dan Ibnu Sinâ. Dari keduapuluh masalah tersebut, ada tiga proposisi mereka yang dipandangnya membawa kekufuran, sedang selebihnya hanya mengandung bid'ah dan mendekati paham Mu‟tazilah yang tidak seyogyanya dikafirkan. Ketiga proposisi filosof yang diserangnya dengan gencar dan habis-habisan itu adalah Pertama, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat. Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan, yaitu Dia hanya mengetahui alam ini secara global, sedangkan hal-hal secara detail berada di luar pengetahuanNya. Ketiga, pendirian para filosof akan kekekalan alam. Selanjutnya, katanya, tak seorang muslim pun yang mempercayai proposisi-proposisi semacam ini. Sekalipun begitu, menurut al-Ghazali, di antara masalah yang digeluti para filosof terdapat hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama. Matematika, yaitu ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Hitung Arithmetic, Ilmu Ukur Geometry dan Kosmologi Cosmology sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Ia membawa bukti-bukti yang pasti. Namun perlu diingat, ia memiliki dua bahaya 1 Karena begitu mengaguminya, hingga dia mengira bahwa pendapat para filosof itu semuanya benar, dan 2 Timbul dari Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 111. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Tahâfût al-Falâsifah Mesir Dar al-Fikr, 239. Harun Nasution, Falsafah, 42-43. Al-Ghazâlî, Ihya‟, I, h. 307-308. Dan lihat al-Ghazâlî, al-Munqîdz,, 16-17. Studia Insania Vol. 4, No. 1 orang yang merasa tahu tentang Islam, tapi sebenamya dia tidak tahu. Dia berkeyakinan, Islam harus dibela dengan menolak semua ilmu dari kaum filosof. Namun setelah dia tahu akan kebenaran ilmu tersebut, dia menjadi tidak percaya terhadap ajaran agama, karena ajaran agama itu dipandangnya bertentangan dengan ilmu yang sudah "pasti" kebenarannya itu. Selanjutnya, juga, Ilmu Mantik atau Logika, yaitu ilmu tentang cara-cara mencari dalil, membuat analogi dan menerangkan syarat-syarat untuk definisi yang benar, tidak bertentangan dengan agama, malah sangat diperlukan. Namun bahayanya, kata al-Ghazâlî, yakni adanya kebenaran yang diberikan ilmu ini, bisa membawa orang untuk menganggap benar semua pendapat kaum filosof. Demikian pula Ilmu Alam atau Fisika, yakni ilmu yang membahas tentang benda-benda apa yang ada di langit seperti bintang-bintang dan apa yang ada di bumi seperti air, udara dan sebagainya samasekali tidak ditolak keberadaannya dalam agama. Namun yang penting harus diyakini, kata al-Ghazâlî, bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Penciptanya, Allah SWT. Ini berarti bahwa al-Ghazâlî tidak apriori menolak atau menerima produk pemikiran para filosof. Selanjutnya al-Ghazâlî memperingatkan, bahwa dalam menanggapi ajaran kaum filosof ini orang bisa terjerumus ke dalam dua bahaya. Pertama, bahaya bagi orang yang menolak, yaitu mereka yang menolaknya mentah-mentah tanpa melihat sisi positif dari ajaran para filosof itu, karena menganggap bahwa semua ajaran yang berasal dari mareka itu salah. Kedua, bahaya bagi yang menerima, yaitu mereka yang menerima begitu saja tanpa meneliti benar-salahnya terlebih uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa al-Ghazâlî bukanlah tokoh yang samasekali tidak menghargai akal, sebab, dia hanyalah menyerang beberapa aspek tertentu dari ajaran para filosof, yang dimasukkannya sebagai masalah-masalan Ketuhanan Ilâhiyât. Dia tidak menentang logika atau penggunaan akal dan nalar; yang dia tentang adalah klaim akal untuk memperoleh dan mengetahui seluruh kebenaran, termasuk masalah-masalah Ketuhanan yang sebagian besar dalam paham teologi al-Ghazâlî hanya dapat diketahui lewat wahyu. Makrifah sebagai Ilmu Mukasyafah Al-Ghazâlî memperkenalkan karya monumentalnya Ihyâ' „Ulûm al-Dîn dengan suatu peringatan, bahwa dia menulis bukunya itu bukan dengan tujuan untuk merumuskan kebenaran-kebenaran agamawi dengan kata-kata. Dalam hal ini dia memberi peringatan dengan alasan utama bahwa pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum, ia hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Di dalam melukiskan kenyataan, kata-kata hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari akal pikiran. Pengertian tentang kebenaran sufistik membutuhkan perkembangan tertentu dari si pembacanya dimana unsur pokok dari pengetahuan itu dihubungkan. Kebenaran sufistik berada di tingkat ini dan pengetahuan merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Ungkapan dengan kata-kata tidaklah mungkin, karena kata-kata tidak dapat menyampaikan hubungan dalam cara yang mengandung arti yang sebenamya, karena itu akan menyesatkan mereka yang tidak memiliki hubungan tersebut dalam dirinya. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 13-16. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 17-20. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Pada tingkat pemahaman sufistik, hal-hal yang telah diketahui merupakan pengetahuan antara manusia dengan Tuhan. Pengetahuan ini bukan merupakan suatu bentuk dari pemikiran yang sistematis, yang dapat diatur dengan kata-kata dan dapat dikomunikasikan dengan hasil pemikiran. Kontak antara sufi dengan obyek pengetahuan bersifat intim dan langsung; sistematisasi dan kata-kata dapat mencegah hubungan langsung tersebut. Apa yang dapat ditulis atau diajarkan oleh orang-orang sufi adalah "jalan" mencapai suatu kenyataan, bukan uraian tentang kenyataan. Kontak seperti itu diperoleh dari hasil penyingkiran "selubung-selubung" yang menutupi penglihatan kalbu dari kenyataan. Selubung tersebut adalah penglihatan dengan pemikiran dan penalaran intelektual. Termasuk di dalamnya juga kebiasaan-kebiasaan, sifat dan tujuan-tujuan duniawi yang menguasai kecerdasan seseorang; dan dengan demikian menghalangi kebebasannya. Apabila kalbu bebas dari semua halangan tersebut dan tidak menyimpang dari tujuannya, maka seseorang akan dapat menerima pengetahuan yang hakiki. Pada tingkat ini, pengetahuan yang hakiki makrifah tersebut disebut ilmu mukasyafah. Ilmu mukasyafah merupakan tujuan terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan untuk meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang hakiki di atas kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini. Ilmu mukasyafah termasuk ilmu batin dan merupakan puncak segala ilmu. Di antara orang-orang arif pemah mengatakan "Barangsiapa tidak memiliki ilmu ini, dikhawatirkan akan celaka pada akhir hayatnya. Paling tidak dia harus mengakui eksistensinya dan tunduk kepada ahlinya." Inilah ilmu para Siddiqin dan yang dimaksud dengan ilmu mukâsyafah, di dalam Pendahuluan kitabnya Ihyâ', al-Ghazâlî mengatakan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ilmu yang menyingkap segala sesuatu yang menjadi obyeknya. Di halaman lain al-Ghazâlî menyebutkan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ungkapan tentang nûr yang tampak di dalam kalbu ketika kalbu itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, Dengan nûr itu tersingkaplah hakikat segala sesuatu. Dengan demikian tercapailah makrifah yang hakiki, baik mengenai rahasia Ketuhanan maupun rahasia perbuatan-Nya dalam menciptakan dunia dan akhirat. Oleh karena itulah, al-Ghazâlî seterusnya mengatakan, bahwa ilmu mukâsyafah berarti hilangnya tutup sehingga jelas bagi seseorang kejelasan Tuhan pada segala hal, seperti jelasnya pandangan mata yang tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dicapai seandainya cermin kalbu tidak ditutupi karat dan tidak dikotori oleh noda-noda langsung terhadap obyek-obyek pengetahuan merupakan tujuan akhir dari setiap ajaran kaum sufi. Obyek tertinggi dari pengetahuan adalah Allah. Orang tidak dapat mempelajari pengetahuan seperti itu dari siapa pun; dari para nabi pun tidak. Sebagai pengalaman langsung, menurut al Ghazali, ia adalah nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbu orang-orang tertentu yang dikehendakiNya. Dalam hal ini, dengan mengemukakan sabda Rasulullah saw, al-Ghazâlî menegaskan bahwa orang harus Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 4. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Studia Insania Vol. 4, No. 1 "Menjauhi dunia yang penuh tipuan dan menghadap dengan sepenuh perhatian ke alam akhirat yang abadi." Selanjutnya Rasulullah bersabda pula "Allah SWT. telah menciptakan seluruh makhluk dalam kegelapan, lalu Dia perciki mereka sebagian dari nûr-Nya." Karena itu, dengan nûr inilah dicari kasyf. Nûr ini memancar dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu dimana orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah "Ada saat karunia dari Tuhanmu, siapkanlah dirimu untuk al-Ghazali, ilmu mukâsyafah adalah ilmu yang tersembunyi al-khafi hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenal Allah. Karena itulah mereka hanya mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya di luar kalangan sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui simbol, tidak diperkenankan disampaikan kepada setiap orang. Oleh karena itu, orang yang telah memperoleh pengetahuan tersebut tidak boleh mengungkapkannya kepada orang yang tidak pemah memper dalam Mukaddimah bukunya Misykât al-Anwâr, sebuah buku yang ditulisnya untuk kalangan tertentu yaitu orang-orang yang siap menerima berbagai hakikat yang pelik, al-Ghazâlî memperingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ditangkap/diterima oleh orang-orang yang hanya menggunakan "mata" biasa indera dan akal. Karena itulah, katanya, tidak semua hakikat boleh diungkapkan dan disiarkan; tidak semua hakikat boleh dikemukakan. Bahwa "kalbu orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia." Sebagaimana pula dikemukakan oleh seorang „ârif." Mengungkapkan rahasia Ilahi adalah kekufuran." Rasulullah saw; penghulu orang-orang terdahulu dan terkemudian, katanya, pemah bersabda "Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali ulama yang dekat dengan Allah. Apabila mereka menuturkannya, maka tidak seorang pun akan menyangkalnya kecuali orang-orang yang tertipu." Namun, jika orang telah siap dan berhak menerimanya, maka tidak sepantasnya merahasiakannya kepadanya. Sebab, menyembunyikan ilmu dari ahlinya tidaklah lebih kecil bahayanya daripada menyebarkannya di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya. Seorang penyair pemah berujar "Barangsiapa memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya, berarti dia telah menyia-nyiakannya. Dan barangsiapa menutup ilmu dari orang yang berhak mengetahuinya, sungguh ia telah berbuatan aniaya”.Al-Ghazâlî sering memberikan contoh tentang adanya kasyf ini dengan masalah mimpi. Dalam mimpi orang dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh mata atau rasio. Kalau kasyf bo1eh terjadi dikala tidur, maka tidak mustahil juga hal itu terjadi dikala jaga. Sebenamya tidak ada bedanya antara tidur dan jaga itu, kecuali hanya pada diamnya alat-alat indera dan ketidaksibukannya alat-alat indera itu terhadap benda-benda yang diamatinya. Banyak orang yang terbuka matanya, yang sedang tenggelam dalam lamunan, tidak melihat atau mendengar apa-apa karena dia sibuk akan urusan dirinya. Pemberitaan Rasulullah saw tentang masalah-masalah gaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, kata al-Ghazali, juga merupakan bukti tentang adanya kasyf. Jika yang demikian boleh terjadi pada Nabi saw, maka tentu boleh pula terjadi kepada selainnya, karena beliau sebagai lambang dari suatu pribadi Al-Ghazali, al-Munqidz, 7. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Al-Ghazali, Misykât, 39-40. Al-Ghazali, Ihya‟, III, 24. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang baginya tersingkap hakikat segala sesuatu dan diberi tugas untuk memperbaiki keadaan makhluk. Juga tidak mustahil kalau di alam ini ada pribadi yang baginya tersingkap segala hakikat, meskipun dia tidak bertugas memperbaiki keadaan makhluk. Pribadi semacam ini bukan nabi, tetapi disebut Dengan demikian, jika hakikat segala sesuatu tersingkap secara jelas bagi seseorang lewat ilham yang dilimpahkan Tuhan ke dalam kalbu, maka dia telah memperoleh suatu ilmu yang tidak diragukan lagi kebenarannya, yang disebut dengan makrifah. Itulah sebabnya, maka al-Ghazâlî menyebut makrifah sebagai ilmu mukasyafah. Kemungkinan adanya kasyf, kata al-Ghazali, telah ditegaskan oleh dalil-dalil nakli. Rasulullah saw bersabda "Barangsiapa beramal sesuai dengan ilmunya, niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum dia ketahui; dan akan memberinya taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia layak mendapatkan surga. Dan barangsiapa tidak mau beramal dengan apa yang telah diketahuinya, niscaya dia akan tersesat pada apa yang dia ketahui; dan tidak akan mendapatkan taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia pantas mendapatkan neraka." Allah SWT berfirman "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar." 652. Maksudnya, kata al-Ghazali, adalah jalan keluar dari kesulitan dan keraguan. "Dan memberinya rezeki tanpa disangka-sangka." Yakni Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan membuatnya pintar tanpa berlatih. Makrifah, menurut al-Ghazali, berarti ilmu yang meyakinkan. Maksudnya, suatu "pengetahuan" yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapa pun dan apa pun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Sebab, makrifah yang bersiiat haqq al-yaqin itu adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, Allah SWT dalam kondisi musyahadah dan mukasyafah. Karena itulah Abû Nashr al-Sarraj al-Tusi mengartikan yaqin dengan tersingkapnya sesuatu secara jelas dan nyata al-mukasyafah. Sejalan dengan itu, maka al-Ghazâlî meraberikan batasan makrifah dengan "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud. Dari keterangan di atas, tampak bahwa hakikat makrifah dalam ajaran tasawuf al-Ghazâlî adalah pengenalan terhadap rahasia segala sesuatu. Meskipun demikian, sebagaimana sufi-sufi yang lain, hakikat makrifah dalam pandangan al-Ghazâlî lebih terorientasi pada pengenalan terhadap Allah untuk mencapai tingkat tauhid yang sesungguhnya. Tingkat makrifah yang harus dicapai, menurutnya, adalah bertemu liqa‟ dan melihat ru‟yah Allah, yang disebutnya dengan istilah. "memandang kepada wajah Allah Ta'ala. Inilah kenikmatan yang paling tinggi dan paripuma yang tidak ada bandingannya [ ] Al-Ghazali, Ihya‟, 24. Studia Insania Vol. 4, No. 1 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, 1975. Arberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. „Azim, „Ali „Abd al-. Falsafah al-Ma‟rifah fi al-Qur‟ân al-Karîm. Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misiryah, 1994. Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahs „an al-Ma‟rifah „inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, Basyûnî Ibrahîm. Nasy‟ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma‟ârf, Dunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 1971. Fayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa „Alâqaha al-Yaqîn bi al-„Aql. Cairo Dâr al-Fikr al-„Arabî, Gardiner, al-Ghazâlî, Madras Allahmad, Calcuta, 1919. Ghallâb, Muhammâd. al-Ma‟arifah „inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Ghazâlî, Abû Hamîd al- al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Faisal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zindiqah. Mesir al-Matba‟ah al-„Arabiyah, 1343 H. -. Fi Bayân Ma‟rifatillâh. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn. Beirut Dar al-Fikr, -. Iljâm al-„Awwâm „an „Ilm al-Kalâm. Turkey Hakikat Kitabavi, 1981. -. al-Iqtishâd fi al-I‟tiqad. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Kîmiyâ‟ al-Sa‟âdah. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Ma‟ârij al-Quds fi Madârij Ma‟rifah al-Nafs. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1927. -. Minhâj al-„Âbidîn, Cairo Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdih, 1337 H. -. Mi‟râj al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924. -. Misykât al-Anwâr. Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964. -. Mukâsyafah al-Qulûb. Cairo „Abd al-Hamîd Ahmad Hanafi, -. al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981. -. Raudah al-Tâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟adah, 1924. -. Tahâfut al-Falâsifah. Mesir Dâr al-Fikr, Mahmud, „Abd al-Halim. Qadhiyah al-Tahsawwuf al- Munqiz min al-Dalâl. Mesir Dâr al-Kutub al-Haditsah, Mubarak, Zakî, al-Akhlâq „ind al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1968. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta UI-Press, 1982. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah -. Falsafah & Mistisisme dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1973. Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. Delhi Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1967. ________________. The Mystics of Islam. London Routledge and Kegan Paul, 1975. -. Studies in Islamic Mysticism. London Cambridge University Press, 1921. Rāziq, Abū Bakr „Abd al-. Ma‟a al-Ghazāli fī Munqidzihi min al-Dalāl. Cairo al-Dār al-Qaumiyah, Taftāzānī, Abū al-Wafā‟ al-Ghanīmī, al-. Madkhal ilā al-Tahsawwuf al-Islāmī. Cairo Dār al-Saqāfah li al-TIbā‟ah wa al-Nasyr, 1979. Zwemer, Samuel M.. A Moslem Seeker after God. New York Fleming H. Revell Company, 1920. Studia Insania Vol. 4, No. 1 M. Kharis MajidWinda RoiniAzmi Putri Ayu WardaniMaulida Hasyyah SabrinaPandemic COVID-19 has led to a sharp decline in the economic aspect, educational activities considered less effective, and difficulty performing worship. As a result, people's anxiety has increased dramatically. This study aims to reveal the urgency of spiritual healing in the life of the community during the Pandemic COVID-19 to answer the challenges of how effective it is in tackling the crucial erosion of spirituality amid society. This article is library-based research, and the data were gathered using documentary approaches. With the descriptive analysis approach, using al-Ghazālī's idea of Ma'rifatullāh, this study found that Ma'rifatullāh, through self-recognition, will lead someone to a more peaceful and calmer situation. Its position as a centre of spiritual healing in Taṣawwuf teachings is very effective in overcoming the crisis experienced by the community during the pandemic. Thus, the anxiety and worldly concerns will transform into peace and This article reveals that self-tranquillity and peace are sometimes not dealing with worldly affairs. Instead, it is about spiritual things. However, many tend to forget that the root of their tranquillity is found in the spiritual Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, IhyâSulaimân DunyâSulaimân Dunyâ, " Al-Ghazâlî Yabhats " an al-Ma " rifah, " dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-" Amal Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr " Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. 16 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV, Hidup Imam Al-GhazaliZainal AhmadAbidinAhmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, Account of the Mystics of IslamUnwin Paperbacks Azim Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-SyuA J ArberrySufismArberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. " Azim, " Ali " Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-Syu " ûn wa alMathâbi " al-Misiryah, al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-GhazâlîVictor BasilSaidBasil, Victor Said. Manhaj al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârfBasyûnî IbrahîmNasyBasyûnî Ibrahîm. Nasy " ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârf, fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârifSulaimân DunyâDunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârif, al-Ghazâlî wa Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr alMuhammad FayûmîFayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa " Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr al" Arabî, " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-MisiriyahMuhammâd GhallâbMaGhallâb, Muhammâd. al-Ma " arifah " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Hamîd al-al-Adab fi al-DînGhazâlîGhazâlî, Abû Hamîd al-al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu " biyah, al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah mengajarkan hamba-hamba-Nya apa-apa yang tidak dia ketahui,kemudian shalawat beserta salam tercurahkan kehadirat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya y dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Ma’rifatullah atau mengenal Allah Azza wa Jalla merupakan satu perkara wajib yang mesti diketahui oleh seorang muslim karena tanpa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla tidak akan mungkin bisa diraih kebahagian hidup, surga Allah Subhanahu wa Ta’âla. Seseorang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar tidak akan mengerti hakekat hidup yang sesungguhnya, dalam artian siapakah dia, untuk apa ia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’âla. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla merupakan salah satu dari tiga pertanyaan yang akan ditanyakan oleh malaikat kepada manusia tatkala mereka masih berada di alam Barzakh alam kubur. Adapun tiga pertanyaan itu adalah sebagai berikut 1. Pertanyaan tentang siapa Robbmu 2. Apa agamamu 3. Siapa Nabimu Ketiga pertanyaan di atas merupakan tiga landasan pokok yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Ketidaktahuan seseorang kepada tiga hal tersebut akan menyebabkan ia mendapat azab dari Allah Subhanahu wa Ta’âla Apa tujuan yang hendak dicapai ketika seseorang mengenal Allah I ? Seseorang yang tidak mengerti tujuannya, maka ia akan berada dalam kebingungan dan terombang-ambing sehingga ia akhirnya terjatuh kedalam lembah kesesatan dan kebathilan. Oleh karena itu Syaikh utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa; ketika seseorang telah mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar, maka secara pasti mereka akan mempunyai beberapa sikap yang akan tampak pada dirinya, diantara sifat tersebut adalah 1. Menerima syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla. 2. Tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’âla 3. Menjadikan Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah r sebagai penentu hukum. Tentunya semua ini akan menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa banyak orang tidak mau menerima Syariat Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’âla tetapkan, kenapa banyak kaum muslimin tidak mau patuh dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’âla? Bahkan mereka lebih mendahulukan hawa nafsunya ketimbang mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’âla, bahkan mereka masih berhukum dengan hukum jahiliyah yang mereka buat sendiri. Tentu semua jawabannya kembali kepada satu titik terang, yaitu mereka tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar. Mengenal Allah I dengan benar akan membuahkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla. Siapakah Robb-mu Tuhanmu Agar seorang muslim bisa mengenal Robbnya dan bisa patuh serta mencintai Allah Azza wa Jalla, maka mereka wajib mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar dan menurut pandangan Syariat. Robb kita adalah Allah Subhanahu wa Ta’âla, Dialah yang menciptakan kita, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’âla Robbul alamin, Dialah Allah Azza wa Jalla Dzat yang wajib kita sembah. Hanya Dia yang kita sembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dalam bentuk apapun. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah menurunkan kepada makhluknya semua nikmat. Nikmat-nimat Allah Azza wa Jalla tidak terhitung banyaknya “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-Nya.” QS. an-Nahl 18 Untuk lebih meyakinkan kita tentang siapakah Allah I, maka mari kita lihat ayat-ayat al-Qur’an 1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dari tanah Allah Subhanahu wa Ta’âla berfirman “Dia-lah Allah yang telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian menetapkan ajal, dan ajal yang telah ditentukan untuk berbangkit yang ada pada sisi-Nya yang hanya Dia mengetahuinya, kemudian kamu masih ragu tentang hari berbangkit itu” QS. al-An’am 2 2. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemberi rezkiSebagaimana firman-Nya “Sesungguhnya Dia-Nya Allah Maha Pemberi rezeki dan Yang Maha Kuat lagi Kokoh” QS. adz-Dzaariyat 58 “Katakanlah siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ? Maka mereka akan menjawab “Allah” Yunus 31 3. Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia untuk mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya hal ini Allah Subhanahu wa Ta’âla berfirman “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku”. QS. adz-Dzaariyat 59 4. Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan Robb sekalian dalam firman-Nya “Segala puji bagi Allah Robb sekalian alam”. QS. al-Fatihah 2 Robb artinya Dialah Allah Subhanahu wa Ta’âla yang membimbing, memberikan nikmat, pencipta manusia, penguasa dan Maha mengatur terhadap manusia, sebagaimana yang Dia kehendaki, sedangkan kata-kata -alam- adalah setiap apapun selain Allah Subhanahu wa Ta’âla. Apa metode manhaj dalam mengenal Allah I ? Hal ini sangat perlu dan wajib kita ketahui, karena tatkala seseorang tidak mengenal cara yang benar dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla, maka ia akan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan cara-cara keliru. Contoh kekeliruan dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla adalah dengan anggapan bahwa mengenal Allah seperti mengenal diri sendiri, mereka berdalil “Siapa yang mengenal dirinya maka mereka akan kenal dengan Tuhannya” ungkapan tersebut adalah hadist maudhu palsu. Adapun Manhaj metode dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla adalah 1. Mentadabburi dan tafakkur terhadap kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keagungan-Nya, karena dengan melakukan hal seperti itu akan mengantarkan seseorang kepada mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya serta rahmat-Nya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”.QS. al-A’raf 185“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berfikir.” QS. Ali Imran 190 Tatkala seseorang mau mengkaji dan mentadabburi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung ini, maka dengan sendirinya mereka akan semakin yakin dan kagum kepada Penciptanya, Dzat yang maha segala-galanya dan tidak bisa disaingi oleh siapapun. Lihatlah langit, bulan, matahari, siang, malam bahkan manusia sendiri yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Semua ini menunjukkan kehebatan Sang Pencipta. 2. Mengkaji ayat-ayat Syar’i al-Qur’an Seseorang yang ingin kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka wajib baginya untuk memandang ayat-ayat Syar’i, yaitu alqur’anul karim. Karena tidak cukup hanya dengan melihat keagungan ciptaan-Nya saja. Al-Qur’an akan memberikan keyakinan dan akan memperkenalkan kepada tentang Allah Azza wa Jalla, ia merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalamnya terdapat kemaslahatan-kemaslahatan yang besar, karena tidak akan tegak kehidupan makhluk, baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengan mengenalnya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an. Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka sungguh mereka akan mendapati perselisihan yang sangat banyak di dalamnya”.QS. an-Nisaa’ 82 Tentu semua ini harus dikaji dengan ilmu, sedangkan untuk mendapatkan ilmu seseorang tidak boleh berpangku tangan, atau menunggu datangnya ilmu tersebut. Hendaklah seseorang yang akan mengenal Allah I mau belajar, hadir di majelis-majelis ilmu, mempunyai perhatian tentang Aqidah yang Shohih. Semakin tinggi ilmu seseorang tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia akan semakin mengetahui nikmat dan manfaat yang dapat ia rasakan, bahkan ia akan semakin takut untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiyat, dan juga ia akan merasakan semakin kuat dorongan di dalam beramal sholeh dan melaksanakan syari’at agama ini. Hal ini disebabkan karena perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain adalah realisasi dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk menambah bahan bacaan dalam hal ini kami anjurkan para pembaca untuk membaca buku-buku aqidah seperti Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, kitab Tauhid oleh Syaikh Sholeh al-Fauzan dari jilid 1 – 3. 4 hal pokok yang wajib diperhatikan dalam mengenal Allah Azza wa Jalla dan beriman dengan-Nya. 1. Beriman dengan adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Seorang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib baginya meyakini adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dengan dalil akal maupun dalil naqli al-Quran dan Sunnah 2. Beriman dengan Rububiyah Allah Azza wa Jalla Meyakini bahwa Dialah satu-satunya Robb, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang menghidupkan, mematikan, memberi rezki, serta mengatur alam semesta ini. 3 Beriman dengan Uluhiyah-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya zat yang harus disembah dan diibadati. 4. Beriman dengan asma’ dan sifat-Nya. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang husna sesuai dengan kemuliaan-Nya, dan wajib menetapkan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Buah dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala Ma’rifatullah Ketika seorang muslim telah kenal dengan Robbnya dengan benar, maka dengan sendirinya ia akan merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagian hidup serta mampu menghadapi kehidupan dengan baik. Ibarat pepatah mengatakan tak kenal, maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta. Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Syarah Tsalasatul Ushul, bahwa buah yang didapatkan bagi orang yang beriman dengan Allah Subhanahu wa ta’ala ma’rifatullah adalah sebagai berikut 1. Terwujudnya tauhid yang sesungguhnya, karena ia tidak lagi mempunyai ketergantungan, pengharapan dan rasa takut kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, dan ia tidak menyembah kecuali kepada-Nya. 2. Sempurnanya cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengagungkan-Nya, disebabkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang tinggi yang tidak sama dengan makhluk. Dengan mengetahui hal tersebut, akan bertambah yakin dengan kesempurnaan Allah Azza wa Jalla. 3. Dengan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya, maka seseorang bisa mewujudkan ibadah yang sesungguhnya kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Demikianlah pembahasan ini semoga ini menjadi pintu gerbang bagi kita untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dalam lagi, sehingga kita akan merasakan kelezatan beriman dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam. Faishal Abdurrahman, Lc

pertanyaan tentang ma rifatullah